PENGOBATAN ISLAM DAN HOLISTIC

Posts Tagged ‘kunyit

Jakarta, 23 Agustus 2001 00:36
”Masuk angin nih…”
”Saya kerok, ya…”
”Minum ini saja…”
”Tolak Angin Sido Muncul…”

DIALOG tersebut dilakukan artis ayu Sophia Latjuba saat membintangi sebuah iklan yang kerap ditayangkan stasiun televisi. Kabarnya, Sophia mendapat imbalan Rp 100 juta untuk menjadi ”maskot” iklan tersebut.

Boleh jadi, sang produsen mencoba mengindentifikasikan Sophia sebagai artis gedongan atau kalangan atas yang mau mengonsumsi ”obat tradisional” tersebut. Sekaligus mengajak masyarakat, jika ”masuk angin” tidak perlu menghilangkannya dengan kerokan. Belum jelas, seberapa jauh efektivas promosi itu bisa mendongkrak penjualan.

Yang pasti, keberanian Sido Muncul sebagai produsen obat masuk angin tersebut menggambarkan kemajuan industri jamu untuk menggebrak pasar dengan promosi yang terbilang mahal. Produsen lain, seperti Air Mancur, Nyonya Meneer, Mustika Ratu, Dua Putri Dewi, dan Jamu Jago, melakukan langkah serupa. Belum diketahui berapa total anggaran iklan yang mesti dikeluarkan dari kocek industri jamu dan obat-obatan tradisional itu.

Pada sisi lain, gencarnya industri jamu berpromosi menunjukkan optimisme para pelaku bisnis ini. ”Pasarnya memang terbuka luas. Dan, masing-masing perusahaan memiliki pasar tersendiri,” kata Presiden Direktur PT Sido Muncul, Irwan Hidayat.

Di Indonesia, saat ini terdapat sekitar 600 industri jamu. Sekitar 400 industri berbentuk koperasi. Angka ini belum termasuk sejumlah industri rumahan. Sementara, industri farmasi tercatat 260 perusahaan. Menurut Irwan Hidayat, pada masa mendatang industri farmasi yang memasuki industri jamu akan makin besar. ”Kompetisi yang banyak itu justru akan membuat orang kreatif dan lebih maju. Jadi, tidak perlu khawatir,” katanya.

Peluang pasar memang terbuka luas. Pasar dalam negeri sampai saat ini baru mencapai omset Rp 180 milyar. Nilai ekspor baru Rp 30 milyar. Indonesia sendiri baru memasok sekitar 2% kebutuhan jamu dunia. Sementara itu, Indofarma menargetkan perolehan angka penjualan Rp 40 milyar.

Sido Muncul, yang memiliki karyawan 2.000 orang dengan jumlah produksi sekitar 150 jenis obat-obatan tradisional, mampu bersaing di pasar internasional. Misalnya merambah sejumlah negara di ASEAN, Jepang, Rusia, Timur Tengah, dan kawasan Eropa. ”Pasar di Rusia lumayan besar,” kata Irwan.

Semua itu didukung oleh potensi kekayaan alam Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk obat-obatan. Data menunjukkan, di dunia terdapat sekitar 40.000 jenis tanaman berbunga dan berbuah yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Sekitar 30.000 jenis di antaranya berada di Indonesia. Namun, baru sekitar 1.375 jenis tanaman yang telah diteliti dan diketahui sebagai tanaman obat. ”Tapi, yang dimanfaatkan baru 400 jenis,” ujar Irwan.

Itulah sebabnya, Prof. Hembing Wijayakusuma menekuni penelitian terhadap tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Diyakininya, Indonesia memiliki kekayaan luar biasa, sehingga tidak harus bergantung pada pengobatan modern. ”Kebutuhan masyarakat pasti bisa dipenuhi,” katanya.

Potensi itulah yang dimanfaatkan industri jamu. Kendati demikian, tampaknya industri jamu harus terus-menerus melakukan peningkatan kualitas produknya. Sebab, ada anggapan, jamu dan obat-obatan tradisional memiliki dampak buruk jika dikonsumsi. Selain itu, hasil produksi industri jamu tidak melalui uji klinis. ”Itu anggapan yang salah. Seharusnya pemerintah memberikan kebijakan yang paralel untuk pengobatan tradisional dan modern,” kata Irwan.

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Sampurno, mengakui adanya hambatan peraturan yang melarang pencantuman obat tradisional sebagai pencegah penyakit. Menurut Sampurno, jamu penurun panas, misalnya, tidak diperbolehkan menggunakan istilah analgesik-antipiretik. Istilah yang harus digunakan adalah hanya untuk mengobati panas dalam.

Sebab itu, untuk masuk ke pelayanan kesehatan modern, obat-obatan tradisional perlu menggunakan konsep fitofarmaka. Acuan itu telah diterbitkan Departemen Kesehatan. ”Obat tradisional yang sudah digunakan puluhan tahun oleh masyarakat tidak perlu lagi melalui uji toksik yang berlebihan,” ujar Sampurno.

Toh, industri jamu memang terus menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat. Jika pada masa lalu industri jamu hanya mengandalkan produknya dalam bentuk bubuk atau seduhan, kini diversifikasi produk dilakukan. Itu karena tidak semua konsumen menyukai jamu ”seduhan”. Maka, dibuatlah produk berupa kapsul, pil, oil, dan pengembangan pada kosmetika.

Menurut Presiden Direktur PT Nyonya Meneer, Charles Saerang, pemanfaatan teknologi untuk memproduksi jamu tak lain untuk meningkatkan kualitas produk. Selain itu, Nyonya Meneer juga melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dan pengembangan tanaman obat. Contohnya dengan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Universitas Diponegoro, Semarang; serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. ”Tenaga-tenaga profesional pun dilibatkan,” tutur Charles.

Perusahaan-perusahaan farmasi juga getol memproduksi obat-obatan yang menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan. Salah satu produk yang tengah gencar dipromosikan adalah Bioprost. Obat ini dipromosikan untuk membantu mengatasi gangguan prostat. Seperti diketahui, gangguan prostat adalah gangguan pada kelenjar prostat yang mengelilingi kandung kemih dan uretra pada kaum pria. Pembesaran kelenjar ini biasanya dapat menyumbat aliran urine dan kandung kemih, sehingga mengakibatkan kesulitan buang air kecil.

Gejala-gejala lain yang menandai seseorang terkena gangguan prostat, antara lain, sering buang air kecil di malam hari, sulit mengeluarkan dan menghentikan air seni, air seni menetes pada waktu kencing, serta merasa kandung air seni penuh walau sudah berkali-kali kencing.

Bioprost ditujukan untuk pria paruh baya –usia yang rawan mengalami gangguan prostat. Bahan yang digunakan ialah saw palmetto yang berasal dari ekstrak tumbuhan Serenoa repens (bart) small. Tumbuhan ini termasuk dalam keluarga Palmae dan subspesies Coryphoideae. Disebutkan, habitatnya berada di Amerika Utara. Saw palmetto mengandung asam lemak bebas B-sitosterol dan senyawa penting lainnya. Penelitian menunjukkan, ekstrak tersebut bermanfaat membantu mengurangi gejala-gejala akibat hipertrofi prostat jinak.

Sementara itu, Nyonya Meneer, perusahaan jamu yang berpusat di Semarang, mengklaim telah menghasilkan obat rematik dalam bentuk kapsul, yang telah melalui uji klinis. Produk yang bernama Rheumaneer itu disebutkan menggunakan bahan tradisional alami. Yakni ekstrak kunyit (Curcumae domesticae rhizoma) dan buah cabe jawa (Retrofructi fructus) untuk pereda kejang dan mengurangi bengkak.

Selain itu, Rheumaneer juga menggunakan bahan ekstrak jahe (Zingiberis rizhoma) dan temulawak (Curcumae rhizoma) untuk antirematik dan memperlancar peredaran darah. Bahan lainnya adalah ekstrak temukunci (Panduratae rhizoma) yang berguna sebagai penambah nafsu makan.

Dari Surabaya dikabarkan, Sinse Soesamto dengan ramuan tradisionalnya mampu mengobati kencing manis dan penderita AIDS. Setiap hari, pasien yang datang ke tempat prakteknya di kawasan Tambaksari sebanyak 50-100 orang. ”Selama 20 tahun saya melakukan penelitian,” kata Soesamto.

Namun, Soesamto lebih mengonsentrasikan diri pada ramuan-ramuan yang berasal dari Cina. Setidaknya, ada 80 jenis tanaman yang dimanfaatkan dalam racikan obatnya. Dengan ”kesaktian” ramuan itu, tidak mengherankan jika Soesamto mematok harga Rp 250.000-Rp 300.000 untuk setiap pak ramuannya. ”Sekitar 80% pasien bisa sembuh,” katanya.

Untuk dunia kecantikan, kampiunnya adalah Mustika Ratu dan Sari Ayu Martha Tilaar. Keduanya telah menguasai pasar Indonesia. Produk-produknya tak cuma merambah kawasan Asia, juga menembus Eropa dan Amerika.

Kendati memiliki optimisme, kekhawatiran pun muncul dari kalangan pengusaha jamu. Terutama dengan adanya kebijakan pemerintah yang memberi keleluasaan masuknya produk-produk asing ke pasar Indonesia. Misalnya obat-obatan yang berasal dari Cina. ”Seharusnya pemerintah berani melakukan proteksi. Dan itu dilakukan Cina, sehingga produk Indonesia tidak bisa masuk ke sana,” kata Irwan.

Pada sisi lain, kebijakan suatu negara juga mempengaruhi penjualan obat-obatan tradisional dari Indonesia. Contohnya Malaysia, yang mengharuskan merek jamu menggunakan bahasa Melayu. Kebijakan yang berlaku sejak 1999 itu memukul penjualan obat-obat tradisional yang berasal dari luar Malaysia.

Nyonya Meneer, misalnya, sebelum muncul beleid tersebut, mampu meraup penjualan sebesar Rp 12 milyar per tahun. Namun, kini angka penjualannya melorot tinggal Rp 2 milyar. Secara keseluruhan, industri jamu Indonesia menguasai 50%-60% pasar Malaysia. Nilai rupiah yang diraup sekitar Rp 50 milyar.

”Persoalannya, para konsumen (di Malaysia) tidak mengenali lagi jamu dan obat-obatan dari Indonesia,” kata Charles Saerang. Itu terjadi karena merek-merek tersebut harus menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Inggris. Jamu kencing manis harus diubah menjadi ”jamu ke-nis”, pil kecantikan diganti dengan ”pil ke-tikan”. Sedangkan galian singset menjadi ”selangking sedet”. Padahal, kata Charles, nama-nama itu tidak populer dan tidak memiliki arti.

Untuk mendorong tumbuhnya industri obat-obatan tradisional, harus ada keberanian dari pemerintah untuk menempatkan bidang naturopati (tradisional) sama pentingnya dengan alopati (dunia kedokteran dan farmasi). Kebijakan itu, antara lain, dengan memberikan kurikulum pendidikan mengenai obat-obatan tradisional. ”Sehingga, ada tenaga ahlinya yang diakui sebagai ilmuwan,” kata Irwan.

Dengan demikian, pada akhirnya dokter pun bisa memberikan resep obat-obatan naturopati kepada pasiennya. Pada saat ini, lanjut Irwan, banyak obat yang menggunakan bahan alami yang sudah melalui uji klinis. ”Jadi, kualitasnya tidak kalah dengan obat-obatan modern. Sehingga, antara naturopati dan alopati bisa saling melengkapi,” katanya.

Jika kebijakan tersebut dilakukan, akan memudahkan pelayanan kesehatan di Indonesia. Tidak perlu lagi dipersoalkan antara obat modern dan tradisional. Sebab, ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan pengobatan modern justru bisa disembuhkan dengan pengobatan tradisional. ”Keterbatasan jumlah dokter akan ditutup dengan pengobatan tradisional,” kata Irwan.

Tag: